Powered By Blogger

Senin, 22 April 2013

Filsafat Islam


Di poshkan oleh Yunisa Afiani Pelajar Di IAIN Sunan Kudus
 
Perbedaan Epistimologi Barat Dan
 Epistimologi Timur


A. LATAR BELAKANG
          Salah satu cabang filsafat yang jumlah pembahasannya hampir mencakup isi
keseluruhan filsafat itu sendiri adalah epistemologi. Sebab, filsafat adalah refleksi, dan setiap refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seorang memiliki suatu metafisika, yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi, yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi.
          Ini dapat dilihat dari cakupan epistemologi yang meliputi hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban, dan skope pengetahuan. Jadi, hal ini dapat juga dikatakan bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana memperolehnya.
          Diskursus tentang epistemologi dikalangan para intelektual Islam maupun Barat pada abad modern ini, seiring lajunya perkembangan science di Barat, menjadi daya tarik tersendiri untuk dikaji dan dikupas tuntas. Sebab, hal ini memunculkan polemik radikal di kalangan mereka tentang, apakah ilmu itu bebas nilai (free value) atau sarat dengan nilai (by product) ?. Pangkal utama polemik tersebut adalah teori ilmu yang berkembang menunjukkan telah terjadi perceraian antara ilmu dan agama.
          Fakta yang terjadi yaitu, ilmu yang berkembang di Barat telah mengakibatkan munculnya berbagai aliran pemikiran/ideologi yang menentang agama Kristen dan Yahudi yang dominan di Barat. Sebagai dampaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Leopold Weis bahwa ‘Barat tidaklah menentang Tuhan secara sewenang-wenang dan terang-terangan, akan tetapi jika dilihat dalam cara berfikirnya sedikitpun tidak menunjukkan bahwa mereka butuh akan Tuhan ataupun tahu akan nilai Tuhan yang sebenarnya’.
          Cara berfikir seperti ini kemudian dikembangkan oleh banyak intelektual muslim di dunia Islam dalam mengkaji Islam dengan pisau analisa epistemologi Barat yang cendrung menafikan yang transenden. Mengapa hal itu terjadi ?, sebab bagi mereka, Barat sebagai lambang kemajuan ilmu pengetahuan (science dan teknology) di abad ini. Jadi, menurut mereka kalau ingin maju, maka tirulah Barat dengan mengadopsi segala apa yang dari Barat, termasuk dalam persoalan memahami agama. Meski demikian, ada sebagian dari kalangan intelektual Islam yang masih tetap komitmen untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip epistemologi Islam serta melakukan pengembangan dengan prinsip-prinsip tersebut.
          Berdasarkan fakta dan data yang telah kami paparkan di atas, hal itu menunjukkan bahwa epistemologi Barat memang problematik. Ini terbukti melalui prinsip-prinsip epistemologi Barat yang berdasarkan kepada worldview mereka yang jauh dari nilai-nilai Agama. Sehingga ilmu yang berkembang di Barat adalah ilmu-ilmu yang jauh dari moralitas, hanya berorientasi pada aspek fisik dan menafikan yang metafisik.
          Untuk itu, makalah ini akan mencoba untuk mengurai permasalahan yang berkaitan dengan epistemologi yang akan difokuskan pada prinsip-prinsip epistemologis yang meliputi makna ilmu, objek pengetahuan, sumber pengetahuan, validitas ilmu, serta cara-cara mendapatkan dan mengamalkan setiap ilmu itu dengan benar. Sebelum mengupas tuntas masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip epistemologi Islam dan Barat, terlebih dahulu akan dibahas mengenai epistemologi itu sendiri sebagai bagian dari cabang filsafat. Sehingga diharapkan akan mendapatkan pemahaman yang holistik. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ahli ilmu bahwa seseorang tidak akan memahami sesuatu hal yang spesifik, jika belum mamahami sesuatu yang bersifat umum. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan diurai mengenai definisi, objek, tujuan, landasan, metode/metodologi, hakikat dan pengaruh epistemologi.

A. EPISTEMOLOGI
1. Definisi

          Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).
          Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat, yang sering dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi. Ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan mulai dari ontologi, epistemologi kemudian aksiologi. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa; ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
          Keterkaitan ini membuktikan betapa sulitnya untuk menyatakan salah satu yang lebih penting dari yang lain, karena ketiga sub ini memiliki fungsi masing-masing yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Namun apabila kita membahas lebih jauh mengenai epistemologi, kita akan menemukan betapa pentingnya epistemologi.
          Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854. Sebagai sub filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini, cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengungkapkannya. Sehingga didapat pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya melainkan juga pada subtansi persoalan, yang menjadi sentral dalam memahami pengertian suatu konsep.  
B. EPISTEMOLOGI BARAT
         
          Barat sekarang ini telah mencapai kemajuan yang begitu pesat, berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan Barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mempu menyajikan bebagai temuan baru secara dinamis dan varian, sehingga memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan teknologi modern.   
Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi wilayahnya, melainkan disamping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya.
          “Kunci rahasia” yang perlu diungkap adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan sains dan epistemologinya. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuwan Barat benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Tradisi untuk menawarkan teori-teori ilmiah yang dibangun berdasarkan penalaran dan pengamatan tampak begitu subur dikalangan mereka sehingga menghasilkan temuan baru yang silih berganti, baik bersifat menyempurnakan temuan yang lama, temuan baru, bahkan menentang temuan lama sama sekali.
          Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan di masing-masing Negara, sehingga secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berfikirnya, metode berfikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahun, dan sebagainya, mengikuti gaya Barat, baik sadar maupun tidak disadari.
Oleh karena sangat dominannya epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim dan seluruh penduduk dunia ini dibentuk oleh pemikiran manusia Barat. Dalam waktu yang bersamaan mereka tidak lagi mau mempertimbangkan epistemologi versi lain, dalam mencari pengetahuan. Epistemologi versi lain dianggap tidak berkualitas dan belum teruji keandalannya dalam memberikan jawaban-jawaban, yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Pada bahasan berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai akar dari tradisi ilmu Barat secara historis, sehingga dapat diketahui dan dipahami asal usul dari kebudayaan dan peradaban Barat yang dibangun di atas kemajuan sains dan teknologi. Selanjutnya dari pengetahuan akan tradisi ilmu Barat tersebut, dapat pula diketahui bangunan dari epistemologi Barat serta prinsip-prinsip yang mendasarinya sebagai pangkal pengembangan sains dan teknologi.

1. Tradisi Ilmu Barat

          Memaknai Barat tidak lagi relevan jika dilihat dari perspektif geografis, yang menunjukkan suatu entitas wilayah, daerah atau kawasan yang berada di belahan bumi bagian Barat.
Sebab, Barat saat ini berada dalam sebuah struktur konseptual pandangan hidup yang membawa makna yang kompleks dan terkadang kontroversial. Saat ini barat bermakna alam pikiran dan pandangan hidup dari suatu kebudayaan dan peradaban. Jadi dari kaca mata peradaban, Barat adalah peradaban yang dibentuk dan dibangun oleh pandangan hidupnya sendiri .
Sebuah kebudayaan atau peradaban memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Pada umumnya sejarah Barat membagi sejarah Barat menjadi zaman kuno, zaman pertengahan, dan zaman modern. Para sejarawan Barat berbeda pendapat mengenai asal usul kebudayaan mereka. Perbedaan itu meruncing ketika sejarawan berpegang pada ilmu sebagai akar kebudayaan. Artinya sebuah kebudayaan atau peradaban akan lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan konsep-konsep keilmuan didalamnya. Sebab faktor keilmuan inilah sebenarnya yang melahirkan aktivitas sosial, politik, ekonomi dan aktivitas kultural lainnya.
Akan tetapi secara historis Barat adalah merupakan suatu peradaban yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa dari peradaban Yunani kuno yang dikawinkan dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa Eropa terutamanya Jerman, Inggris dan perancis. Prinsip-prinsip rmengenai ketatanegaraan diambil dari Romawi, sementara Agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan dengan budaya Barat.

2. Pendekatan Keilmuan Barat

Pemaparan mengenai epistemologi Barat menujukkan konsep ilmu dalam peradaban Barat hampa dari Agama. Ilmu yang kosong dari Agama  merupakan fondasi utama dari peradaban Barat saat ini. Dengan berdasarkan uraian di atas bahwa epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti yang disimpulakan oleh al Attas epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri.
 Ziauddin Sardar menyatakan, adanya perbedaan antara yang subjektif dan objektif, antara pengamat dan dunia luar (yang diamati), antara keadaan-keadaan subjektif serta emosi dan “realitas” yang terdapat di luar pengamat, yakni realitas yang hanya dapat diketahui melalui observasi dan penalaran, maka dapat disebutkan bahwa pendekatan epistemologi Barat itu adalah skeptis, rasional-empiris, dikotomik, posotivis-objektivis, dan menentang dimensi spiritual (antimetafisika).

3. Tokoh Pemikir Barat

Paul Johnson, jurnalis dan sejarawan Kristen konservatif dalam bukunya Intellectuals telah membongkar perilaku menyimpang para pemikir besar Barat sebagai produk dari epistemologi Barat yang hampa dari agama dan moralitas. Adalah Ernest Hemingway seorang sastrawan yang memeiliki daya serap publik lebih besar dengan karyanya yang bertumpuk-tumpuk, mulai dari Three Stories & Ten Poems karya pertamanya yang banyak penerbit menolaknya sampai akhirnya Old Man and The Sea karyanya yang fenomenal dan karya terakhirnya True At First Light yang lahir di tahun yang
sama dengan kematiannya, 1999.
Jutaan orang telah menjadikannya idola, penganut dan pengikutnya. Namun di balik ketenarannya tersebut tersimpan suatu perilaku kedustaan/kebohongan, sikap ateis dalam diri Hamingway. Paul Johnson mendeskripsikan kemampuan Ernest Hemingway dalam berbohong dengan kalimat yang indah. “He thought, and sometimes boasted, that lying was part of his training as a writer. He lied both conciously and without thinking”. Sedangkan menurut kesaksian dari istrinya Hadley sebagaimana yang dikutip Johnson bahwa seumur hidupnya sang sastrawan hanya dua kali ia temui berlutut di depan altar. Pertama, saat mereka menikah. Dan yang kedua, sekaligus yang terakhir, saat anak mereka dibaptis di dalam gereja.
Jean Jacques Rousseau yang diberi julukan sebagai An Interesting Madman dalam kurun waktu 200 tahun terakhir, menjadi nama besar yang mempengaruhi semua teori pemikiran sekuler dan intelektual modern. Bahkan tidak lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab teori-teori kenegaraan modern, banyak yang lahir dari pemikirannya. Seperti teori perwakilan politik yang saat ini hampir menjadi model negara di seluruh dunia, bisa dilacak dalam jejak pemikirannya dalam bukunya, Du Contrack Sociale.
Tapi siapa sangka, Rousseau adalah laki-laki gila dalam definisi yang sebenarnya menurut Paul Johnson. Ia laki-laki yang begitu mencintai dirinya, lebih dari apapun. Dalam bahasanya senidiri Rousseau menyebut dirinya amour de soi, natural selfishness. Saking cintanya pada diri sendiri, ia bahkan tak peduli dan membuang semua anak-anaknya ke foundling home, sebutan untuk sebuah rumah penampungan anak-anak yang tidak diketahui orang tuanya. Ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur, juga tentang anak-anak, yang ia tulis dalam sebuah buku yang telah menjadi teks klasik, Emile.
Jadi, apa sebenarnya arti intelektual bagi dunia modern, jika para pencetus dan peletak pondasi intelektual, menjadi orang-orang pertama yang mengingkari pemikirannya sendiri ? Bukankah hasil dari pemikiran dan out put dari intelektual adalah proses perbaikan perilaku dan moral ? Apakah mungkin dipisahkan antara konsepsi ideal sebuah pemikiran dengan tata cara hidup para pemikirannya ? Jika demikian, benarlah pepatah tua yang mengatakan hidup ini hanya panggung opera besar yang tak pernah habis ceritanya. Tal layaknya seperti panggung, para pemain kerap kali memiliki peran ganda, bahkan mungkin lebih, dalam hidupnya. Dan masing-masing saling membantah peran lainnya.

C. EPISTEMOLOGI ISLAM

Pembahasan epistemologi Islam sangat penting untuk dibahas, sebab problem mendasar dalam pemikiran Islam terletak pada epistemologinya. Gagasan epistemologi Islam itu brtujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat muslim pada khususnya, agar bisa keluar dari belenggu pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemologi Barat. Dikalangan pemikir muslim menawarkan “segala sesuatu” berdasarkan epistemologi Islam. Di dalam Islam epistemologi berkaitan erat dengan metafisika dasar Islam yang terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadist, akal, dan intuisi.
Kalaulah disepakati, bahwa peradaban Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak brbasiskan ilmu pengetahuan, maka membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu dalam Islam adalah persyaratan untuk menguasai dunia dan akhirat. Menegakkan bangunan ilmu maksudnya tidak lain adalah untuk mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusianya agar sejalan dengan prinsip-prisip ilmu pengetahuan dalam Islam.
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah wahyu Tuhan ditempatkan di atas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan yang paling tinggi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, sehingga wahyu dijadikan sebagai sumbet kebenaran mutlak suatu kebenaran. Jadi rusaknya keberagamaan umat Islam lebih karena rusaknya pemikiran dan hancurnya peradaban Islam karena hancurnya bangunan ilmu pengetahuan.

1. Tradisi Ilmu Islam

Pada 1400 tahun atau 14 abad yang lampau, telah lahir seorang Maha Guru, guru dari sekalian manusia, yang membawa manusia dari lembah kegelapan, kenistaan menuju suatu puncak kegemilangan yang penuh dengan cahaya keridhaan. Adalah Muhammad bin Abdillah dilahirkan di kawasan padang pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban kala itu: Persia dan Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi sekaligus Rasul. Tugas baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu bukanlah tugas yang ringan, namun sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas itu adalah menyampaikan risalah tauhid kepada seluruh ummat manusia di penjuru dunia.
Dalam waktu ± 23 tahun, setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan sepanjang dakwah risalah, Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan kehidupan di mana siapa saja yang berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya. Hal itu ditandai dengan lahirnya sebuah kota yaitu Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan. Kemudian Kota tersebut bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu negara (state) atau peradaban (civilization).
Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting antara lain 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup. Ketiga elemen tersebut telah mewujud di Madinah kala itu. Berdasarkan teori Ibnul Khaldun tersebut Madinah sudah bisa dikatan sebagai sebuah peradaban. Dari Madinah-lah kebangkitan Peradaban Islam berawal dan berkembang.
Peradaban Islam di mulai dengan tradisi ilmu atau tafaqquh fid din secara terus menerus. Mulai dari turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. proses interaksi dan ideasi antar individu dan masyarakat senantiasa didasarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu tidak hanya dalam pikiran semata akan tetapi mewujud dalam sebuah aktifitas, baik berupa amal infiradi maupun amal jama’i. Dari sinilah lahir komunitas ilmiah yang mana oleh sebagian ahli sejarah disebut Ahlus Suffah.
Di lembaga pendidikan pertama inilah kandungan wahyu dan hadist-hadist Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).
Hasil dari kegiatan ini memunculkan alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadist Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dhar Al Ghifari, Salman Al Farisy, Abdullah ibn Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadist telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini. Kegiatan pengkajian wahyu dan hadist kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk lain.
Tidak lebih dari dua abad lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti Qadi Surayh (w.80 H/699 M), Muhammad ibn al Hanafiyah (w.81 H/700 M), Umar ibn Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih (w. 110,114 H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M), Ja’far al Shadiq (w. 148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.
ke-17.
2. Pendekatan Keilmuan Islam

Konstruk epistemologi Islam dibangun di atas landasan wahyu, sehingga bersifat tawhidy. Konsep ketuhanan menjadi sentral utama dari pembahasan epistemologi Islam. Dengan kata lain, dalam Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen (thawabit) dan dinamis (mutaghayyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar (mutashabih), yang asasi (usul) dan yang tidak (furu’).
3. Tokoh Pemikir Islam
Dalam Islam, seorang yang memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, serta kesalehan pribadi yang tinggi mendapatkan predikat kehormatan yang berkualitas super atau bisa dikatakan super excellent di sisi manusia dan di sisi Tuhannya yang Maha Menciptkan. Pribadi tersebut diistilahkan dengan ‘Ulama’. Seorang tidaklah dikatakan orang yang pandai jikalau ia belum mengamalkan ilmunya. Artinya tidak tercermin dalam setiap kepribadiannya sebagai seorang yang ahli ilmu.
Adalah Malik bin Anas (180 H/796 M), seorang ulama ahli hadist periode awal yang menetap di Madinah. Sufyan bin Uyaynah menyebut Imam Malik sayyid al muslimun, sayyid ahl madinah. Ia juga mengibaratkan Imam Malik sebagai lampu penerang, hujjah di masanya. Ketika Malik wafat ia berkata, “Tidak ada orang seperti dia, tidak tertinggal di bumi ini orang seperti dia”. Imam Syafi’i mengatakan, “Apabila kamu menerima athar dari Malik maka pegangilah kuat. “Ini menunjukkan kualitas pribadi dan intelektual Imam Malik”.
Kualitas intelektual dan pribadi Malik menjadikannya Imam yang diikuti oleh umatnya, maka dikemudian hari dikenallah dalam dunia Islam sebuah madzhab yang disandarkan kepada Imam ahl al madinah. Madzhab Maliky didasarkan pada al Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas dan tradisi masyarakat Madinah, terutama tradisi para imamnya. Ia terkadang menolak suatu hadith yang bertentangan dengan tradisi Madinah. Selain itu, Maliky menggunakan dasar mursalah-mursalah, misal hukum memukul tertuduh pencurian agar ia mengaku.
Malik bin Anas adalah salah seorang dari sekian banyak Ulama yang dilahirkan dari produk tradisi ilmu Islam yang berlandaskan kepada pandangan hidup Islam yang berakar pada kajian metafisika. Para Ulama sekaliber Malik bin Anas baik sebelum dan sesudahnya merupakan bukti nyata akan kekuatan tradisi Islam semenjak kemunculannya sebagai sebuah agama dan peradaban dalam sepanjang sejarahnya samapai detik hari ini. Epistemologi Islam sebagai sebuah bangunan keilmuan yang menjadi pijakan utama dalam melakukan pengembangan keilmuan telah terbukti kecanggihannya yang tidak perlu lagi diragukan, apalagi didekonstruksi dengan digantikannya dengan epestemologi lain.

D.
PERBEDAAN EPISTIMOLOGI BARAT DAN ISLAM
Epistemologi yang juga disebut dengan Teori Ilmu menempati ruang yang sangat urgen di dalam pengembangan kemajuan sebuah kebudayaan bangsa atau peradaban. Setiap peradaban dibangun oleh epistemologinya masing-masing dengan berdasarkan kepada pandangan hidup (worldview) dari peradaban tersebut. Sebab, epistemologi berkaitan erat dengan worldview. Jadi, setiap peradaban memiliki epistemologi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, tak terkecuali antara epistemologi Islam dan Barat. Yang tentunya juga secara spesifik memiliki prinsip-prinsip yang berbeda pula.
Adapun prinsip-prinsip dari keduanya dapat dibedakan dari beberapa aspek yang mana dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Epistemologi Islam
Epistemologi Barat
Didasarkan kepada kejian metafisika
Didasarkan kepada praduga-praduga
Sumber kepada wahyu, akal sehat, panca indra dan intuisi
Sumber hanya kepada akal (rasio) dan data/fakta empiris
Pendekatannya bersifat tawhidy
Pendekatannya bersifat dikothomi
Objeknya fisik dan sekaligus metafisik
Objeknya fisik, observable & penalaran
Ilmu syarat dengan nilai (value full)
Ilmu bebas nilai (free value)
Validitas kebenaran konteks (data & fakta) diselaraskan dengan teks (wahyu)
Validitas kebenarannya hanya bertumpu kepada rasio-empiris
Berorientasi dunia dan akherat
Berorientasi kepada dunia semata
Dari sini dapatlah dipahami akan perbedaan dari keduanya yang sangat jelas sebagai konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai elemen yang paling mendasar dari keduanya yaitu Islam dan Barat. Selain itu, uraian singkat dalam makalah ini juga dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa substansi epistemologi tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh para ilmuan kontemporer yang bertumpu pada metode ilmiah, akan tetapi lebih dalam lagi yaitu epistemological belief yang terakumulasi dalam pikiran setiap orang yang kemudian menentukan corak dari epistemologinya masing-masing. Wallahu A’lam bish shawab.









                                       DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin, Islamisasi Ilmu Konsep dan Epistemologi, Malang: Islamic thought and Civilization (ICON) forum, 2008.
Arifin, M, filsafat pendidikan islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Armas, Adnin, Diktat Matakuliah : Dewesternisasi Dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Disampaikan pada kuliah Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun 2007.
Zarkasyi,Hamid Fahmi, Membangun Peradaban Islam Kembali, Makalah disampaikan dalam workshop pemikiran ideologis Forum Ukhuwah Islamiyah daerah Istimewa Yogyakarta 15 April 2007.
__________________, dkk, Tantangan Sekularisasi Dan Liberalisasi Di Dunia Islam, Jakarta: Khairul Bayan, 2004.
__________________, Leberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Misionaris, Orientalis, dan kolonialis), Ponorogo: Center For Islamic and Occidental Studies, 2007.
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta: ERLANGGA, 2005.
Sholihin,M, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal (Jakarta: GEMA INSANI,2005.
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Handono, Irena, Menyingkap Fitnah Dan Teror, Bekasi: GERBANG PUBLISHING, 2008.
Husaini, Adian, Virus Liberalisme Di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2009.
Pranaka, A.M.W, Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008.
Muhammad Al-Naquib Al-Attas, syed, Dilema Kaum Muslimin, Surabaya: PT. Bina Ilmu,1986.
Suriasumantri, Suria.S, Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, Bandung: Mizan, 1991.
Suriasumantri, Jujun.S, Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1990.
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Tim Dosen, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003.
Jurnal Islamia Vol. III No.2, Melacak Akar Peradaban Barat, Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2007.
Jurnal Islamia Thn I No 6, Membangun Peradaban Islam Dari Dewesternisasi Kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2005.
Jurnal Islamia Thn II No 5, Epistemologi Islam & Problem Pemikiran Muslim
Kontemporer , Jakarta Selatan: Khairul Bayan,2005.
Jurnal Islamia vol.III.No.3, Wajah Universitas Islam, Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2008.
Husaeni, Adian, Dari Tradisi Ilmu Ke Peradaban Islam, Catatan untuk 5 Tahun INSIST sebagai dimuat dalam Catatan Akhir Pekan Di www. Hidayatullah.com